"Hakim harus mampu menyelesaikan suatu perkara. tanpa menimbulkan perkara baru"

Vergelijkbare documenten

(21 (3) STMTSBI-AD NOMOR : 37/ TAHUN 1949 ORDONANSI TANGGAL TENTANG BAHAN-BAHAN BERBAHAYA. Pasal I (1)

STAATSBLAD VAN NEDERLANDSCH.INDIE 1931/No.509 LOODWIT Tegengaan van het gebruik van droog loodwit, ("Loodwitordonnantie"). IN NAAM DER KONINGIN

ORANG DAN BAD ANY ANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN. JAARGANG 1954 No. 126

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda,

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SURINAME MENGENAI PEMBEBASAN VISA BAGI PEMEGANG PASPOR DIPLOMATIK DAN DINAS

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN BELANDA,

REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN BELANDA, BERKEINGINAN untuk menyepakati Protokol untuk mengubah Persetujuan

BAB V PENUTUP. perkahwinan berbeza agama sebagai sesebuah wacana pemikiran hukum Islam dan

Ga naar

Ga naar

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda, selanjutnya disebut "Para Pihak";

Februari Beste Pabanleden,

PERDJANDJIAN ANT ARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERADJAAN BELGIA TENTANG PENJERAHAN TEPUNG-TERIGU RANGKA BANTUAN PANGAN OVEREENKOMST

KANDUNGAN HALAMAN TAJUK HALAMAN PENGAKUAN ABSTRACT PENGHARGAAN SENARAI PERUNDANGAN SENARAI ISTILAH SENARAI KEPENDEKAN TRANSLITERASI

PRONOMINA PERSONA BAHASA MELAYU ABAD KETUJUH BELAS

Perajaan Natal ini kami Bestir PABAN bersama Kelompok Kerdja Perajaan Natal pakai tema LAIN LIHAT LAIN

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN KERAJAAN BELANDA TENTANG KERJASAMA TERKAIT PERTAHANAN

BAB III PERKAHWINAN BERBEZA AGAMA DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA

Jaargang 33 editie 4 oktober 2017

Hierbij ontvangt u onze nieuwsbrief. Deze nieuwsbrief verschijnt in de schoolweken elke vrijdag en is ook te lezen op onze site

Let s Be Joyful! J A A R G A N G 2 6 N U M M E R 1 J A N U A R I

Kleurrijk Religieus Leven 2010

BAB VII IMPAK PROCES PEMULIHAN HAK ATAS TANAH. hak atas tanah yang tidakserasi dan ketidakseimbangan, mengakibatkan ada individu

Span u in om door de samenbindende kracht van de vrede de eenheid te bewaren die de Geest u geeft (Efeziërs 4: 3)

BOOS, waarom? Lezing voor Bina Da wah, januari 2004

Verslag over de training kinderen van de Aarde. Kinderen van de Aarde, program 2017

Inhoudsopgave: 3 Van de Redactie: Google Maps vs Geloof. 4 Vanuit het dagelijks Bestuur: Happy Family in Christ Focus on Talent

...en laat u ook zelf als levende stenen gebruiken voor de bouw van een geestelijke tempel (1 Petrus 2: 5)

TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN. JAARGANG 1954 No. 113

V an D orps Publikasi tentang Pacijak Indonesia V a n D orps Indonesische B elasting Publicaties

JAARGANG 32 NUMMER 3 JULI 2016

FILOSOFIE. van de. Stichting Duurzame Samenleving Papua Barat (SDSP)

JAARGANG 29 NUMMER 3 JULI 2013

JAARGANG 31 NUMMER 4 OKTOBER 2015

KEMEROSOTAN KASUS NAHUAN DALAM BAHASA BELANDA:

GKIN Actief! Tilburg: Dagje uit naar de Ark van Noah Parabel van de Pinksterbloem

24JAN d-d- 2 * JA;; M. Stuurgroep R.M.S, Op 13 november 19?8 werd volgende vernomen, omtrent de "Stuurgroep R.M.S^".

Jaargang 28 Nummer 2 APRIL 2012

Peter Leiwakabessy en Caroline den Breejen. op 1 juni 2012 in de Grote Kerk te Sliedrecht

Jaargang 28 Nummer 3 JULI 2012

Niet door eigen kracht of macht zal hij slagen zegt de HEER van de hemelse machten maar met de hulp van mijn geest.

M. Sitanala, 11 juli 00. Bron: Salahutu, November 2000, nr 0

Jaargang 34 editie 2 april Salib yang membawa kemen-angan Het kruis dat de overwinning brengt. 1 Korintiërs 15:55-58

BAB DUA KONSEP MAHAR DAN HANTARAN MENURUT ISLAM. Seperti yang telah diketahui, amalan perkahwinan selalunya berhubungkait

Delftse methode. Woordenlijst per les Nederlands - Indonesisch. a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z. Basiscursus Nederlands, deel 1

Aanvraagformulier toetreding tot de Islam Formulir permohonan masuk Islam

CHAPTER 10. Summary and conclusions Samenvating en conclusies Ringkasan dan kesimpulan

Ik dank Christus Jezus, onze Heer, dat hij mij kracht gegeven heeft en het mij heeft toevertrouwd hem te dienen (1 Timoteüs 1:12)

4 United Nations Treaty Series 1950

Notis Khas jika anda berumur di bawah 14 tahun. Pemprosesan data peribadi kanak-kanak

TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN. JAARGANG 1973 Nr. 15

70 jaar Asmat houtsnijkunst 70 tahun seni pahat Asmat 70 years of Asmat woodcarving

NAAR NEDERLAND HANDLEIDING

Jaargang 28 Nummer 4 oktober 2012

Jaargang 32 nummer 4 oktober 2016

All I Want for Christmas is You! (Lucas 2: 8-20) JAARGANG 31 NUMMER 1 JANUARI 2015

b. _. «L Nieuwe "Badan"

160. Bijbelstudie over AKU ADA IK BEN EGO EIMI - ἐγὼ εἰμί

GELD IN MELANESIË. De functie van het monetaire element in een primitieve maatschappij

Schaam je niet om van onze Heer te getuigen.

VOOR DORP VOOR UIT! UIT! Elkaar helpen. Wederzijds. JAARGANG 12, NUMMER 4 AUGUSTUS 2015

Behind the Banner of Unity: Nationalism and anticolonialism among Indonesian students in Europe, Stutje, K.

Jaargang 33 editie 3 juli 2017

Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650

Jaargang 35 editie 1 januari Yohanes/Johannes 1:1-4

Jaargang 33 editie 2 april 2017

BAB 6 RUMUSAN, PERBINCANGAN DAN CADANGAN. pengurusan konflik di sekolah menengah berdasarkan kepada hasilan kajian yang

Bedevaart Israel. In de voetsporen van Jezus

Jobannes Jacobus las. Penterjemah. Siti Hawa SaIIeh

Jaargang 34 editie 4 oktober Zonde en genade. Dosa dan anugerah. - Lukas/Lucas 15:1-10

Groeien tot een discipel die tegen de stroom durft in te gaan. Bertumbuh menjadi murid yang berani melawan arus. Romeinen 12:1-8

06 HE l «T? b. d. Rukun Maluku. Bijl.: Van het navolgende vernomen: werd o

11 Ambonese woonoorden Capelle ad IJssel tab kamervragen

Ons resten geloof, hoop en liefde, deze drie, maar de grootste daarvan is de liefde. (I Korintiërs 13: 13) Jaargang 27 Nummer 2 APRIL 2011

Treasures. Uit de collecties van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde te Leiden

En hierin is Gods liefde ons geopenbaard: God heeft Zijn enige zoon in de wereld gezonden, opdat we door Hem zouden leven (1 Johannes 4:9).

NIEUWS PLAATS VOOR IEDEREEN TEMPAT BAGI SETIAP ORANG JAARGANG 33 EDITIE 1 JANUARI 2017 LUCAS 2: 1-7 JAARGANG 33 EDITIE 1 JANUARI 2017

Gelukkig zijn zij die niet zien en toch geloven (Johannes 20:29b)

Beberapa Catatan Tentang Kaba Cindua Mato: Satu Contoh Sastera Tradisional Minangkabau

SURAT r SURAT AHTAr A KESULTAMAP RS AU DENGAK IPEMERINTAHAN2 V.3.C. DAN HINDIA-BELANDA

ABMS3203 JAWI DAN KAJIAN MANUSKRIP MELAYU. Dr Makmur Harun Firman Muhammad Yafri Yahya

Kersteditie! effen in de wildernis een pad voor onze God (Jesaja 40: 3) JAARGANG 28 NUMMER 1 JANUARI 2012

Ibadah: Ahad Tanggal 3 juli 2016 Djemaat: Introitus (Intochtslied) - BNG 107: 1

Colofon. Madjalah Rehoboth. Uitgever GIM Assen. Redactieadres

Kersteditie! JAARGANG 27 NUMMER 1 JANUARI 2011

Hij is niet hier, Hij is uit de dood opgewekt (Lucas 24: 6a)

Nieuwsbrief. Mededelingen

Thema: Vindt rust bij God Datum: 14 augustus 2016 GIM Assen. Introitus (Intochtslied) - Mazmur 138: 1

november/december 2017

17e Jaargang. 1 Juni Afl. 11.

Pengaruh Reformasi Pendidikan Muhammad Abduh

Inhoudsopgave vaste rubrieken. Colofon 2. Overdenking 4. Bouwstenen GKIN: Asido Nainggolan 12. Dagboek DB 16. KND Rubriek 25, 28, 29

RAFFLES' Ms. No. 18 DOOR. Dr. M. G. EMEIS.

Ga dus op weg en maak alle volken tot mijn leerlingen (Matteüs 28:19) J A A R G A N G 2 5 N U M M E R 3 J U L I

Delftse methode. Woordenlijst. Basiscursus Nederlands, deel 1 en 2. A.G. Sciarone, P.J. Meijer. Nederlands - Indonesisch. nieuwe woorden per les

Jaargang 27 Nummer 4 OKTOBER 2011

Transcriptie:

Pengantar Penulis "Hakim harus mampu menyelesaikan suatu perkara tanpa menimbulkan perkara baru" Hukum acara sejatinya merupakan tatanan hukum yang menjadi kompas bagi seorang Hakim dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu perkara yang dipercayakan kepadanya. Tatanan aturan tersebut wajib diikuti dan dilaksanakan oleh para Hakim. Oleh karena itu hukum acara sejatinya tersusun secara sistematis, lugas dan lengkap serta tidak membuka ruang bagi terjadinya multi tafsir. Namun realitas kekinian menunjukkan bahwa hukum acara perdata yang sekarang berlaku di Indonesia entah itu HIR dan Rbg ternyata tidak mengakomodir begitu banyak persoalan hukum acara yang ada di dalam praktek saat im. Sebut saja, misalnya tentang gugatan intervensi, gugatan provisi dan dwangsom. Ketiga bentuk hukum tersebut, banyak dipakai di dalam praktek, tetapi ironisnya karena figur hukumnya dipakai, namun aturanaturan yang mengatur hal tersebut ditinggalkan, sehingga seolah-olah figur hukum tersebut berjalan tanpa aturan. Oleh karena itu uraian dari para pakar diperlukan untuk memberikan pencerahan dan penjelasan atas masalah tersebut agar para praktisi hukum tidak tersesat di dalam prakteknya. Buku ini dibuat dan disusun paling tidak dimaksudkan untuk memberikan pencerahan khususnya bagi aparat pengadilan terhadap jalan keluar atas permasalahan - permasalahan tersebut di atas.

Buku yang sekarang ada di tangan pembaca adalah buku yang ditulis dan disusun pada tahun 1992 yang merupakan buah dari penelusuran, kajian dan perenungan penulis pada waktu ditugaskan oleh Mahkamah Agung RI melakukan studi kepustakaan di Universitas Leiden - Belanda. Buku ini pada tahun 1993-1995 dicetak oleh Litbang Mahkamah Agung RI untuk kepentingan internal, dan sekaligus merupakan buku wajib bagi pelatihan Hakim dan dibagikan oleh Mahkamah Agung RI kepada seluruh Hakim di lingkungan Peradilan Umum. Namun Hakim-Hakim yang diangkat sesudah tahun 1995 tidak lagi memperoleh buku tersebut, dan syukur alhamdulillah berkat bantuan dari Andi Julia Cakrawala, Slamet Sampurno Suwondo, dan Hamzah Halim, buku ini dapat dicetak kembali setelah melalui poses edit, serta revisi pada beberapa bahagian yang mengacu pada perjalanan waktu dan perkembangan praktek dalam dunia peradilan kita saat ini, untuk itu saya ucapkan terima kasih kepada ketiganya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sama, saya tujukan kepada pihak Penerbit Rangkang Education kerjasama Nusantara Institute yang telah berkenan menerbitkan naskah ini, semoga kedepan Penerbit Rangkang Education dan Nusantara Institute senantiasa konsisten dalam membangun peradaban ummat manusia dengan menjadi wadah bagi upaya pencerahan dan pencerdasan ummat manusia. Amin. Realitas yang ada dalam dunia peradilan kita sebelum terbitnya buku ini adalah pada umumnya Hakim Indonesia belum mengetahui dan memahami secara mendalam tentang apa sesungguhnya makna dan tujuan pembuat Undang-undang

melahirkan "dwangsom". Ketidaktahuan tersebut berangkat dari ketidak fahaman akan filosofi dari "dwangsom" itu sendiri. Pandangan penulis ini didasari pada pengamatan penulis terhadap banyaknya putusan-putusan Hakim yang menerapkan "dwangsom" dengan melenceng dari makna, tujuan serta filosofi lembaga "dwangsom" tersebut. Sebagai contoh ada putusan Hakim yang menolak tuntutan "dwangsom", hanya karena Hakimnya berpendapat bahwa putusan yang dapat dieksekusi secara ril tidak perlu dwangsom. Sungguh suatu kekeliruan yang nyata dan menyimpang dari hakikat eksistensi "dwangsom". Penerbitan ulang buku ini meskipun isinya mirip dengan cetakan yang lama, akan tetapi cetakan kali ini pada beberapa bahagian mengalami revisi dan penajaman (uraian yang lebih mendalam) serta penambahan dengan beberapa putusan Mahkamah Agung terbaru yang berkaitan langsung dengan masalah yang diuraikan di dalam buku ini. Selain penambahan putusan-putusan Mahkamah Agung juga diuraikan permasalahan hukum yang muncul terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap yang di dalamnya ada penghukuman "dwangsom". Penulis berharap bahwa dengan model penerbitan yang demikian akan memberi pengetahuan dan pemahaman yang semakin konprehensif terhadap pembaca tentang "uang paksa", serta sekaligus menjadi pencerahan bahwa "dwangsom" tidaklah sesederhana seperti yang dipikirkan banyak orang selama ini. Oleh karena dalam realitasnya ternyata begitu banyak problema yang muncul melingkupi lembaga "dwangsom" ini, bahkan sesudah adanya penghukuman "dwangsom (uang paksa)", tersebut.

Hukum acara memang harus berkaitan dengan pelbagai persoalan hukum (konprehensif), yang harus dirangkai oleh hakim dengan logika dan interpretasi hukum yang tajam dan tepat yang dibangun di atas pemahaman filosofi eksistensi "dwangsom" itu sendiri, sehingga dalam implementasinya dapat mencapai tujuan dan makna yang sebenarnya. Apabila logika dan interpretasi hakim tidak mampu merangkainya dengan benar (dalam bingkai filosofinya), maka pastilah akan selalu menimbulkan persoalan atau perkara baru, sehingga putusan hakim yang seyogyanya mengakhiri suatu perkara, justeru sebaliknya akan menimbulkan perkara baru yang bahkan mungkin masalahnya menjadi lebih besar dan pelik. Penulis menyadari sesadar-sadarnya bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan penulis hanyalah seorang hamba Allah yang pasti jauh dari kesempurnaan, dengan demikian penulis beranggapan bahwa tulisan ini pastilah belum sempurna. Disana sini masih terdapat hal yang membutuhkan penyempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima segala bentuk masukan demi penyempurnaan buku ini kedepan. Selanjutnya karya ini kupersembahkan secara khusus kepada isteriku tercinta Herawati Sikki, SH., MH., dan anak-anakku tersayang'a. Hartati Harifin, SE., SH., & Yogo Muntoro, SE., MM., dan Andi Julia Cakrawala, ST., MT., SH., & Rina Rosanawati, ST., SH., MH. Juga kepada cucuku M. Anditya Suryo Athallah, Andi Rifdah Chindra Qaanitah, Riona Adani Ghaisani, Andi Fadhlillah Al Ihsan Tumpa, Daiyan Hilmi Andi Tumpa, Andi Haiban Harifin Tumpa, semogalah buku ini

mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi mereka di dalam hidup dan pengabdian mereka pada Allah SWT, beserta nusa dan bangsanya. Akhir kata, semoga maksud dan tujuan penulisan buku ini tercapai. Amin. Terima kasih. Jakarta, 6 Juni 2010 Penulis Harifin A. Tumpa

Pengantar Editor PEMAKSAAN REZIM DAN "DESPOTISME UANG" Andi Julia Cakrawala, Hamzah Halim, Slamet Sampurno Soewondo Sebuah rezim politik, bisa melakukan pemaksaan atas siapapun yang ada dibawah kepemimpinan politik yang dipegangnya. Sebab itu, rezim politik adalah merupakan satu entitas yang memiliki otoritas atas rakyat yang dimpimpin. Di dalam rezim politik, kita bisa menemukan pemaksaan atas berbagai persoalan yang muncul, sehingga dengan demikian setiap persoalan yang muncul disertai dengan titik temu, apakah persoalan politik itu berkaitan dengan rezim yang bersangkutan atau tidak. Sebab setiap rezim saling bertautan, dan pertautan antara rezim yang satu dengan rezim yang lain inilah yang harus diatasi dalam sebuah kontruksi politik. Rezim bisa menciptakan situasi agar demokratis, tetapi juga bisa memaksa dengan otoritas yang dimiliki. Maka dengan demikian rezim bisa menjadi berbahaya bagi banyak orang, tetapi juga bisa membawa berkah bagi segelintir orang. Sebab itu, rezim politik memiliki otoritas untuk menekan, memerintah dan memaksa setiap orang dibawah kendali kekuasaan yang dimilikinya untuk bekerja secara secara sistematis. Tetapi selain rezim politik, dikenal juga rezim hukum dengan karakter dasar

yang dimilikinya. Sehingga dengan karakter dasar itu, rezim hukum bisa dibedakan dengan rezim politik. Rezim hukum berdiri kukuh di atas bab-bab, pasalpasal dan ayat-ayat. Otoritarianisme rezim politik terkadang berdiri mengatasnamakan legitimasi rezim hukum, sehingga setiap orang dipaksa untuk memenuhi hasrat politik karena tafsir hukum dari rezim politik. Rezim hukum punya sumber legitimasi, sekalipun bisa ditelikung, sebab itu, legitimasi yang dimiliki rezim hukum sangat kuat ketimbang rezim politik. Tetapi ada yang lain yang justru juga bisa sangat berbahaya dalam konteks rezim ini, yakni "rezim uang". Uang bisa menjadi rezim yang mampu menciptakan represi, uang bisa menjadi kekuatan penopang bagi rekonstruksi masa depan dan kehendak kolektif, nang bisa menjadi "hasrat berkuasa", uang juga bisa menjadi alat represi. Dalam hukum perdata, dikenal dengan "uang paksa" yang diberi nama Belanda "dwangsom". "Uang Paksa" bisa menjadi alat despotisme, karena menjadi legitimasi untuk memaksa seseorang agar memenuhi prestasi atau janji dalam hukum perdata. Apabila seseorang melakukan wanprestasi, maka salah satu jalan yang paling penting adalah merekonstruksi agar uang paksa menjadi sesuatu yang menempatkan manusia sebagai manusia yang memiliki nalar pembebasan, tidak sebagaimana layaknya dalam rezim politik otoritarianisme, yang menempatkan manusia dalam titik nadir yang mengerikan. Sebab itu, uang paksa dalam hukum perdata bukan hanya sekedar alat represi seharusnya, tetapi bagaimana uang paksa bisa menjadi sumber negosiasi bagi para

pihak agar tidak terjadi konflik interest akibat wanprestasi. Sebab itu, uang paksa bukanlah rezim otoritarianisme yang memiliki alat-alat kekerasan yang sah, tetapi merupakan alat legitimasi untuk membangun komunikasi para pihak yang memiliki masalah dalam bidang perdata. Jakarta, 17 Juni 2010 Editor

Daftar Isi Pengantar Penulis... Pengantar Editor... Daftar Isi... v ix xiii Bagian Pertama Putusan Hakim yang Dapat Dilaksanakan... 1 Bagian Kedua Pengertian dan Aspek Dwangsom... 19 A. Pengertian Dwangsom... 19 B. Sifat Dwangsom... 20 C. Jenis Dwangsom yang Dapat Dijatuhkan... 23 Bagian Ketiga Kapan Suatu Dwangsom Dapat Dijatuhkan... 25 A. Tidak Ada Dwangsom Tanpa Hukuman Pokok... 25 B. Kemungkinan Eksekusi Riil Bukan Halangan untuk Menjatuhkan Dwangsom... 26 C. Dwangsom Bukanlah Ganti Rugi... 28

D. Hal-hal Dimana Dwangsom Tidak Boleh Dijatuhkan... 31 E. Masa Berlakunya Dwangsom... 35 Bagian Keempat Kewenangan dalam Dwangsom... 38 A. Kearifan dan Kehati-hatian dalam Menjatuhkan Dwangsom... 40 B. Perubahan Dwangsom... 43 Bagian Kelima Penggunaan Dwangsom dalam Praktek Peradilan (Studi Perbandingan Dunia Peradilan Indonesia dengan Belanda) A. Relevansi Dwangsom dengan Putusan Hakim dalam Perkara Perdata... 48 B. Pandangan para pakar tentang Dwangsom... 48 C. Relevansi Dwangsom dengan Ganti Rugi... 52 D. Kapan Dwangsom dengan Ganti Rugi... 53 E. Kewenangan Hakim untuk Menetapkan Dwangsom... 54 F. Mulai Berlakunya Dwangsom... 56 G. Perubahan Dwangsom... 61 H. Eksekusi Dwangsom... 63 Bagian Keenam Ruang Lingkup Penanganan Dwangsom, Diskretionair Hakim dalam penerapannya, dan perkembangannya... 66 A. Eksekusi Dwangsom dilakukan dengan Verhaal Executie... 66 B. Dwangsom dan Kepailitan... 67

C. Apakah Dwangsom dapat Dipecah?... 72 D. Penyalahgunaan Hak Atas Dwangsom... 73 Bagian Ketujuh Eksekusi Dwangsom... 76 A. Ruang Lingkup Penanganan Dwangsom... 76 B. Beberapa Sifat dan Tujuan Dwangsom... 77 C. Penerapan Dwangsom dalam Putusan... 82 D. Diskretionair (kebijakan) hakim dalam penerapan Dwangsom... 86 E. Pelaksanaan (Eksekusi) Dwangsom... 88 F. Hags Verdrag... 89 Daftar Pustaka... 97 Lampiran-lampiran... 99 Tentang Penulis... 249

Bagian Pertama PUTUSAN HAKIM YANG DAPAT DILAKSANAKAN Hukum acara perdata adalah merupakan ketentuan-ketentuan hukum untuk mewujudkan hukum perdata materiil. Di dalam hukum acara perdata tersebut pada hakikatnya mengandung dua hal pokok, yaitu: 1. Tindakan-tindakan atau acara-acara untuk dan pada persidangan pengadilan. 2. Eksekusi. Kedua masalah tersebut bersangkut paut dengan apa yang disebut putusan hakim. Di satu pihak putusan itu merupakan bagian akhir dari suatu persengketaan/acara di muka persidangan pengadilan. Di lain pihak, putusan itu merupakan titik tumpu dari suatu eksekusi. Putusan akhir dari hakim yang mengabulkan gugatan penggugat, dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Deklarator, di mana di dalam amar putusan hakim menyatakan suatu keadaan sah menurut hukum. Misalnya: menyatakan penggugat sebagai pemilik dari sebuah rumah. 2. Konstitutip, di mana dalam amar putusan hakim menyebutkan atau menciptakan suatu keadaan baru. Misalnya: menyatakan putus suatu perkawinan atau menyatakan batal suatu perjanjian atau menyatakan seseorang dalam keadaan

pailit. 3. Kondemnator, yaitu putusan yang amarnya menyebutkan suatu penghukum atau perintah. Misalnya: menghukum tergugat untuk mengosongkan sebuah rumah. Dari ketiga macam putusan hakim tersebut hanya putusan yang bersifat kondemnator yang mempunyai kekuatan eksekusi, sehingga kalau kita berbicara tentang eksekusi putusan hakim, maka yang dimaksudkan adalah putusan yang bersifat kondemnator saja. Selanjutnya untuk putusan kondemnator ini dapat berupa: a. Menyerahkan suatu barang. b. Mengosongkan sebidang tanah atau bangunan. c. Melakukan suatu perbuatan tertentu. d. Tidak melakukan suatu perbuatan. e. Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. f. Membayar sejumlah uang. Selanjutnya untuk terlaksananya suatu putusan terdapat dua upaya yang dapat ditempuh, yaitu: a. Upaya paksa langsung (directe middelen), yaitu penggugat memperoleh prestasi dari tergugat sesuai dengan apa yang ditentukan atau diperintahkan oleh hakim. Upaya ini dapat dibedakan ke dalam dua cara, yaitu: 1. Reele Executie (eksekusi yaitu secara langsung tergugat dipaksakan (kalau perlu dengan kekuatan angkatan bersenjata) untuk memenuhi apa yang diperintahkan oleh hakim. Cara ini adalah untuk

melaksanakan prestasi yang berupa: untuk menyerahkan sesuatu barang selain dari uang (geven van ander goed dan geld), melakukan (te doen) dan tidak melakukan (nalaten). Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukuman untuk memenuhi suatu prestasi selain dari suatu jumlah uang dilaksanakan dengan eksekusi riil (veroordelingen tot niet-geldelijke prestaties tenuitvoerlegging door reele executie). 2. Hukuman untuk memenuhi suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, dilaksanakan dengan lebih dahulu mengadakan pemblokiran (penyitaan) barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik terguggt, kemudian barang-barang tersebut dijual (dilelang) dan hasilnya digunakan untuk pembayaran sesuai dengan jumlah yang harus dibayar oleh tergugat. Cara ini disebut verhaal executie. Jadi penghukuman yang berupa pembayaran sejumlah uang dilaksanakan dengan verhaal executie (veroordeling tot geldelijke prestaties tenuitvoerlegging door verhaal executie). HIR maupun RBg yang sekarang ini digunakan sebagai hukum acara perdata kita hanya mengatur verhaal executie tersebut (lihat Bab V Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR dan Bagian IV Pasal 205 sampai dengan Pasal 241 RBg). b. Upaya paksa tidak langsung (indirecte middelen), yaitu pemenuhan prestasi dicapai dengan melalui tekananpsychis kepada tergugat agar is dengan sukarela memenuhi prestasi. Upaya ini dikenal dengan dua cara: 1. Penerapangijzeling (sandera), yaitu hakim menetapkan bahwa apabila

terhukum tidak mau memenuhi prestasi yang ditetapkan, maka terhukum disandera. Penerapan sandera ini dapat diterapkan dalam setiap putusan kondemnator. Penerapan sandera ini sekarang tidak diperkenankan sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 karena dipandang bertentangan dengan Pancasila. 2. Penerapan dwangsom (uang paksa), yaitu hakim menetapkan suatu hukuman tambahan kepada si terhukum untuk membayar sejumlah uang kepada si penggugat di dalam hal si terhukum tersebut tidak memenuhi hukuman pokok, hukuman tambahan mana dimaksudkan untuk menekan agar si terhukum tersebut memenuhi hukuman pokok dengan sukarela. Masalah dwangsom ini di Indonesia tidak diatur di dalam HIR maupun RBg. Dahulu sewaktu masih berlakunya Rv masalah dwangsom tersebut diatur adalam Pasal 606a dan Pasal 606b. Penerapan dwangsom ini hanya dimungkinkan pada putusan kondemnator yang bukan merupakan pembayaran sejumlah uang. Walaupun lembaga dwangsom tersebut tidak diatur di dalam hukum acara kita sekarang ini (HIR dan RBg), namun di dalam dunia praktik lernbaga ini tetap muncul, terutama di kota-kota besar. Dari sekian banyak gugatan yang meminta uang paksa tersebut sering kita temukan halhal yang tidak tepat. Hal ini mungkin disebabkan karena ketentuan perundang-undangan kita tidak mengaturnya. Selain itu pengetahuan tentang lembaga ini juga masih sangat minim karena dari literaturliteratur yang berbahasa Indonesia, masih terasa sangat kurang.

Kondisi yang berbeda dapat kita temukan di negeri Belanda, di mana perkembangan lembaga ini (dwangsom) sangatlah pesat, terutama sejak dimasukkannya lembaga ini (dwangsom) ke dalam perundang-undangan Belanda sejak tahun 1933. Sebelum tahun 1933 lembaga dwangsom itu belum dimasukkan ke dalam perundang-undangan Belanda, padahal waktu itu code de procedure civil Prancis yang banyak memengaruhi hukum acara perdata di Belanda, sudah mengenalnya. Keadaan ini menimbulkan ketidakpastian, dan praktik peradilan dilandasi oleh adanya pelbagai kemungkinan. Selanjutnya pada tanggal 11 April 1932 pemerintah Belanda mengajukan suatu rancangan undang-undang yang berhubungan dengan penyitaan barang-barang bergerak yang ada dalam tangan pihak ketiga, sandera (gijzeling) dan uang paksa (dwangsom). Pemerintah yang dalam hal ini mengikuti pendapat dari panitia Limburg, berpendapat bahwa uang paksa (dwangsom) sebagai alat eksekusi harus secara jelas dipisahkan dari ganti rugi, suatu hal yang menyimpang dari yurisprudensi Perancis. Dalam garis besarnya Staten Generaal dapat menyetujui perubahan dan penambahan tersebut dan menempatkannya di dalam perundangan sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah. Panitia tetap dan Tweede Kamer mengusulkan agar dwangsom ditempatkan di dalam Buku II titel 6 Burgelijk Wetboek karena dwangsom dipandang sangat erat kaitannya dengan ganti rugi. biaya-biaya, dan bunga daripada suatu penyanderaan. Sebaliknya anggota-anggota dari Eerste Kamer lebih condong menempatkan dwangsom itu dalam Buku III titel 1 dan 3 BW, yaitu tentang penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian.

Menteri Kehakiman menolak kedua usul tersebut. Beliau be'rpendapat bahwa orang tidak dapat meletakkan suatu hubungan yang tepat antara ganti rugi dengan dwangsom. Dwangsom harus dipisahkan dengan ganti rugi yang masing-masing harus diatur tersendiri. Akhirnya peraturan tentang dwangsom ini diundangkan` oleh Menteri Kehakiman Belanda pada waktu itu Mr. J. Donner pada tanggal 29 Desember 1932 di dalam Stb. No. 676 yaitu ketentuan-ketentuan BRv ditambah dengan Pasal 611a dan Pasal 611b. Rumusan kedua pasal inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam BRv yang berlaku di Indonesia, yaitu dengan Stb. 1938 No. 360 yang dahulu dikenal dengan Pasal 606a dan Pasal 606b. HIR tidak mengatur tentang dwangsom tersebut. Menurut perkiraan karena Mr. H. L. Wichers yang waktu itu sebagai Presiden dan Hooggerechtshof di Jakarta, yang semula merencanakan untuk menambah satu Ayat di dalam Pasal 432 HIR yang rumusannya mengatur bahwa: hanya hal-hal yang tidak diatur dalam HIR, pengadilan boleh memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa, jika peraturan-peraturan yang demikian itu dianggap berguna bagi peradilan yang baik. Tetapi rancangan ini ditolak oleh Gubernur Jenderal Rochussen dengan alasan bahwa Reglement untuk acara pengadilan bagi golongan bumiputra pada dasarnya harus lengkap, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa adalah menyimpang dari asas tersebut. Namun bagi Landraad di Jakarta, Semarang, dan Surabaya Rochussen tidak keberatan apabila pengadilan-pengadilan tersebut memakai hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa.

Menanggapi hal tersebut Supomo berpandangan bahwa dengan dihapuskannya Raad van fustitie dan Hooggerchtshof, maka BRv sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku sebagai pedoman hukum acara perdata kita sekarang ini. Namun demikian, karena kebutuhan pada keadaan tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai, maka praktik peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan hukum acara dan BRv sebagai pedoman. Tetapi celakanya, kadangkadang orang mengambil lembaganya, sedangkan aturan-aturan permainannya sendiri ditinggalkan, misalnya di dalam dwangsom. Lembaga dwangsom dipakai, tetapi peraturan yang mengatur hal tersebut tidak dihiraukan (ditinggalkan). Mahkamah Agung di dalam putusannya tertanggal 28 September 1955 menentukan bahwa dwangsom dapat dipakai untuk mewujudkan hukum materiil. Di negeri Belanda sendiri, aturan-aturan tentang dwangsom tersebut telah mengalami perkembangan yang sangat besar, yaitu sejak 1 Januari 1978, meskipun sebelum tanggal tersebut aturan dwangsom hanya diatur di dalam dua Pasal, yaitu Pasal 611a dan Pasal 611b (yang sama dengan Pasal 606a dan Pasal 606b BRv yang pernah berlaku di Indonesia). Sedangkan sekarang sudah berkembang menjadi 9 pasal (yaitu dari Pasal 611a sampai dengan Pasal 611i). Pada bagian terdahulu telah penulis uraikan bahwa hanya putusan hakim yang bersifat Condemnatoir saja yang dapat dieksekusi. Hal ini berarti bahwa hanya putusan akhir dari hakim yang berisi suatu perintah yang dapat dilaksanakan. Apakah ini berarti pula bahwa suatu putusan akhir dari hakim yang berisi suatu

perintah selalu dapat dilaksanakan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana apabila putusan akhir hakim tersebut mengandung suatu cacat. Untuk itu penulis akan menguraikan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu putusan akhir hakim. Menurut penulis bahwa yang dimaksud dengan putusan akhir adalah suatu pernyataan dari hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara melalui yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan syarat dan bentuk tertentu, dengan tujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu putusan harus mempunyai unsur-unsur paling tidak, sebagai berikut: 1. Diucapkan oleh hakim yang berwenang; 2. Dalam persidangan yang terbuka untuk umum; 3. Dengan syarat-syarat dan bentuk tertentu; dan 4. Bertujuan mengakhiri sengketa atau perkara. Apabila syarat yang pertama tersebut tidak terpenuhi, misalnya putusan itu diucapkan oleh panitera atau hakim militer memutus suatu perkara perdata, maka putusan tersebut batal demi hukum (nietig), yaitu dari semula putusan itu dipandang tidak ada, sehingga tidak - mungkin dilaksanakan. Selanjutnya bilamana syarat yang kedua sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi, yaitu putusan tidak diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

(Pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 108 Ayat 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang- Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Lalu bagaimana jika sekiranya unsur ketiga yang tidak dipenuhi? Menurut hemat penulis, bahwa putusan hakim adalah tidak sama dengan surat biasa, atau suatu surat keputusan dari pejabat-pejabat negara lainnya. Namun sepanjang pengetahuan penulis bahwa baik HIR maupun RBg ternyata tidak memuat secara perinci (detail) ten-tang bagaimana seharusnya bentuk dan syaratsyarat suatu putusan. Penulis hanya menemukan di dalam rumusan ketentuan Pasal 184 Ayat 1 HIR dan Pasal 195 Ayat 1 RBg yang mengatur bahwa putusan harus mencantumkan ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban serta alasan-alasan keputusan itu dan apa yang dimaksud di dalam Pasal 7 RO dan akhirnya putusan Pengadilan Negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan. Undang-Undang Peradilan Umum (Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan perubahan I dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 dan perubahan II dengan Undang- Undang No. 49 Tahun 2009) tidak mengatur tentang bentuk dan syarat putusan hakim. Tetapi di dalam Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 dan

terakhir dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 (Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman) di dalam beberapa pasal yang tersebar menentukan syaratsyarat putusan tetapi tidak mengatur secara perinci bentuk dan isi putusan, sebagai berikut: 1. Peradilan dilakukan, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4 Ayat 1). 2. Putusan dilakukan sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali undangundang menentukan lain (Pasal 15 Ayat 1). 3. Putusan diucapkan di dalam persidangan yang dibuka untuk umum (Pasal 18). 4. Putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu dan pasalpasal tertentu dari peraturan-peraturan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 Ayat 1). 5. Putusan ditandatangani oleh ketua dan hakim-hakim yang memutus dan panitera yang ikut sidang (Pasal 23 Ayat 2). Selanjutnya di dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009) ternyata diatur secara jelas dan lengkap tentang syarat-syarat dan isi suatu putusan, sebagai berikut: 1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 Ayat 1).

2. Putusan Pengadilan memuat: a. Kepala putusan yang berbunyi: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau kedudukan pihak-pihak yang beperkara. c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas. d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal-hal yang terjadi di dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. (Ulla Pasal 109 Ayat 1). 3. Putusan hakim harus ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang turut bersidang (lihat Pasal 109 Ayat 4 dan 5). Walaupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tersebut khusus diberlakukan bagi Peradilan Tata Usaha Negara, namun di dalam praktik selama ini pada lingkungan peradilan umum syarat-syarat tersebut telah dipandang sebagai bentuk dan syarat yang Baku. Menurut ketentuan Pasal 109 Ayat 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tersebut, apabila syarat-syarat yang disebut di dalam Pasal 109 (1) tersebut tidak dipenuhi, dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan. Jadi putusan tersebut dapat dibatalkan (vernietig) yang dapat diartikan bahwa sebelum putusan tersebut dibatalkan, maka putusan tersebut adalah sah (berbeda apabila putusan tidak diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum) dan dapat dieksekusi. Terhadap pengaturan Pasal 109 Ayat 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan UndangUndang No. 51 Tahun 2009 di atas, maka menurut hemat saya ada satu syarat yang disebutkan di dalam Pasal 109 Ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tersebut yang tidak mungkin dapat dilaksanakan apabila tidak dipenuhi, yaitu apabila putusan itu tanpa kepala putusan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", karena syarat ini adalah suatu syarat yang sangat essensial yang harus ada pada setiap putusan. Seharusnya apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka putusan batal demi hukum (nietig). Selanjutnya kalau kita Baca rumusan ketentuan Pasal 224 HIR, maka syarat demikian adalah merupakan titel eksekusi. Tanpa titel eksekusi putusan tidak bisa dilaksanakan.

Di negeri Belanda apabila kepala putusan "in naam des koningin" tidak ada, maka putusan itu tidak bisa dilaksanakan. Jadi kalau kita berbicara tentang eksekusi putusan pengadilan, maka kita dihadapkan pada persoalan pokok yang pertama yang ha - rus kita jawab, yakni apakah putusan tersebut berkekuatan hukum, dalam arti bahwa putusan tersebut mengikat para pihak. P. A. Stein berpendapat, bahwa terikatnya para pihak pada suatu putusan disebut sebagai kekuatan mengikat putusan (gezag van gewijsde). Kekuatan mengikat putusan ini dapat dipisahkan antara kekuatan yang bersifat positif dengan kekuatan yang bersifat negatif. Kekuatan yang bersifat positif adalah apa yang diputuskan bagi kedua belah pihak benar adanya res iudicata pro veritate habetur, di mana bukti lawan tidak dimungkinkan. Hal ini didasarkan pada rumusan ketentuan Pasal 1954 dan Pasal 1957 BW Belanda (yang sama Pasal 1917 dan Pasal 1920 BW Indonesia) kekuatan yang bersifat negatif adalah bahwa hakim tidak boleh memutus suatu perkara antara pihak yang sama yang telah diputus sebelumnya (ne bis in idem). Ini didasarkan pada Pasal 158 Rv Belanda. Hoge Raad dalam Arrest Tapia/Wilkes tanggal 27 April 1979. NJ 1980. 169 berpendapat bahwa menurut hukum Kitab UndangUndang Hukum Acara Perdata, suatu putusan prinsipnya berkekuatan karena hukum (rechtswege). Ini berarti bahwa jika hakim memberikan suatu perintah untuk memenuhi suatu kewajiban, maka itu berlaku sejak putusan diucapkan. Dari apa yang penulis telah kemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa antara kekuatan mengikat putusan tidaklah identik dengan putusan yang

berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Suatu putusan yang memenuhi syarat sebagaimana yang saya kemukakan di atas (lihat unsur-unsur suatu putusan), selalu mempunyai kekuatan mengikat, walaupun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Selanjutnya baik HIR maupun RBg tidaklah mengatur tentang kekuatan hukum dari suatu putusan. Tetapi kalau kita membaca dan mencermati rumusan ketentuan Pasal 180 Ayat 1 HIR dan Pasal 191 Ayat 1 RBg, maka dapat disimpulkan bahwa suatu putusan hakim Pengadilan Negeri berkekuatan mengikat sejak diucapkannya, karena hakim tersebut dapat menyertakan suatu perintah agar putusan tersebut dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada verzet, banding ataupun kasasi. Di negeri Belanda suatu putusan condemnatoir dapat dieksekusi, juga apabila putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun demikian, pelaksanaan tersebut dibatasi oleh dua hal, yaitu: 1. Apabila terhadap putusan itu diajukan upaya hukum biasa oleh tergugat (verzet, banding atau kasasi), maka eksekusi tidak bisa dijalankan. Ini diddsarkan pada rumusan ketentuan Pasal 82 Ayat 2, Pasal 350 Ayat 1, dan Pasal 404 Ayat 1 Rv (yang tidak ada bandingannya di dalam HIR maupun RBg). 2. Di dalam hal putusan verstek, putusan tidak dilaksanakan sebelum lewat 8 (delapan) hari terhitung sejak putusan itu disampaikan oleh juru sita langsung kepada orangnya (tergugat) di tempat tinggal tergugat atau menurut cara pemanggilan yang tergugatnya tidak diketahui lagi alamatnya. Ini didasarkan

pada Pasal 80 Rv (yang tidak ada bandingannya di dalam HIR ataupun RBg). Pembatasan-pembatasan tersebut tidak berlaku apabila hakim di dalam putusannya tersebut memerintahkan agar putusan itu dilaksanakan lebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad). Lembaga uitvoerbaar bij voorraad di negeri Belanda pada umumnya digunakan di dalam putusan hakim, terutama di dalam Kort Geding atau di dalam gugatan provisi, karena kedua putusan dalam proses tersebut baru mempunyai arti dan mencapai tujuannya apabila putusan itu segera dilaksanakan. Tetapi di Indonesia lembaga ini sangat dibatasi. Di Indonesia lembaga "putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu" diatur di dalam rumusan ketentuan Pasal 180 Ayat 1 HIR dan Pasal 191 Ayat 1 RBg dan di negeri Belanda diatur di dalam rumusan ketentuan Pasal 52 dan Pasal 53 Rv. Antara rumusan ketentuan Pasal 180 Ayat 1 HIR dan Pasal 52 Rv terdapat perbedaan yang cukup tajam. Di dalam Pasal 52 Rv, merumuskan bahwa suatu putusan "akan diperintahkan" (zal bevolen worden) dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada banding atau verzet, apabila memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut: 1. Apabila putusan didasarkan atas akta authentik. 2. Apabila putusan didasarkan pada akta di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut digunakan atau secara sah dipandang diakui dalam hal putusan verstek. Dalam pandangan penulis pasal ini sesungguhnya mengandung arti bahwa apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka hakim akan ("akan" di sini dapat

diartikan suatu keharusan) memerintahkan uitvoerbaar bij voorraad. Hal tersebut di atas berbeda dengan apa yang diatur di dalam rumusan ketentuan Pasal 180 Ayat 1 HIR, di mana rumusan pasal ini menyatakan, bahwa: hakim "dapat" memerintahkan (kan bevelen) pelaksanaan lebih dahulu putusan, walaupun ada banding atau verzet, apabila ada alas hak yang autentik, atau suatu surat yang dapat diterima sebagai bukti atau jika ada putusan lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau jika dikabulkan tuntutan provisi, pula hal perselisihan tentang "bezit". Barangkali perbedaan inilah yang menyebabkan sehingga putusan hakim-hakim Belanda umumnya dapat dilaksanakan lebih dahulu, yaitu di negeri Belanda sifat pasal yang mengatur excecutive bij voorraad lebih bersifat imperatif sedangkan di Indonesia sifat pasal tersebut adalah fakultatif. Di Indonesia walaupun eksekusi lebih dahulu dimungkinkan (dapat dilakukan), namun di dalam realitas praktiknya sangat sulit untuk diterapkan. Hal itu disebabkan karena Mahkamah Agung dalam fungsinya sebagai pengawas jalannya peradilan di Indonesia telah memberikan petunjuk-petunjuk berupa suratsurat edaran agar hakim di dalam menghadapi permintaan eksekusi lebih dahulu itu senantiasa bertindak hati-hati. Apabila hakim telah menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, tidak berarti bahwa secara otomatis harus segera dijalankan. Surat edaran Mahkamah Agung No. 05. Tahun 1971 tertanggal 17 Mei 1971 menyatakan, bahwa: 1. Surat-surat edaran tanggal 10 Juli 1964 No. 13 Tahun 1964 dan tanggal 2

Juni 1969 No. 5 pada pokoknya bermaksud agar pengadilan tingkat pertama jangan menjatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, walaupun diajukan perlawanan atau banding (uitvoerbaar bij voorraad) dan apabila sungguh-sungguh dipandang perlu menjatuhkan putusan serupa itu, maka putusannva harus dimintakan persetujuan terlebih dahulu dari Mahkamah Agung. Sedangkan jika terhadap keputusan yang dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu itu diajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding, kemudian diajukan permintaan persetujuan untuk pelaksanaannya maka untuk itu Mahkamah Agung menyerahkan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus dapat atau tidaknya permintaan yang dimaksud dikabulkannya. 2. Surat-surat edaran tersebut dikeluarkan berdasarkan kenyataan, bahwa sementara hakim-hakim pada Pengadilan Negeri tidak atau kurang memerhatikan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang mengenai lembaga "uit voerbaar hij voorraad" seperti yang diuraikan di dalam rumusan ketentuan Pasal 180 (1) HIR dan Pasal 191 (1) RBg. Keadaan seperti itu sudah barang tentu tidak dapat dipertahankan terus-menerus dan Mahkamah Agung memandang sudah tiba saatnya untuk mengakhiri keadaan itu dengan memercayakan penerapan lembaga "uit voerbaar bij voorraad" kepada Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan oleh undangundang. Maka dengan ini Mahkamah Agung menyatakan mencabut suratsurat edaran tanggal 10 Juli 1964 No. 13 Tahun 1964 dan tanggal 2 Juni

1969 No. 5 Tahun 1969. 3. Selanjutnya MahkamahAgung meminta kepada segenap ketua dan hakim pada Pengadilan Negeri untuk sungguh-sungguh mengindahkan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat menyatakan agar putusan dapat dijalankan lebih dahulu, meskipun diajukan perlawanan atau banding sebagaimana diuraikan di dalam rumusan ketentuan Pasal 180 (1) HIR dan Pasal 191 (1) RBg. Adapun syarat-syarat tersebut, adalah: a. Ada surat autentik atau tulisan tangan (handschrift) yang menurut undangundang mempunyai kekuatan bukti. b. Ada keputusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti (inkracht van gewijsde) sebelumnya yang menguntungkan pihak penggugat dan ada hubungannya dengan gugatan yang bersangkutan. c. Ada gugatan provisonil yang dikabulkan. d. Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrecht. Jadi apabila salah satu syarat yang tersebut di atas dipenuhi, maka barulah dapat dijatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun diajukan perlawanan atau banding, sedang di dalam hal-hal di luar itu tidak boleh dijatuhkan putusan serupa itu. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tersebut terus dikembangkan antara lain dengan SEMA No. 3 Tahun 2000 yang dipertegas lagi dengan SEMA No. 4 Tahun 2001. Di dalam SEMA No. 3 Tahun 2000 tersebut Mahkamah Agung memberikan perintah kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan

Agama untuk mempertimbangkan, memerhatikan, dan menaati dengan sungguhsungguh syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum mengabulkan tuntutan putusan serta-merta dan tuntutan provisional sebagaimana diuraikan di dalam rumusan ketentuan Pasal 180 Ayat (1) HIR dan Pasal 191 Ayat (1) RBg serta Pasal 332 Rv. Selanjutnya Mahkamah Agung memberi petunjuk agar tidak menjatuhkan putusan serta-merta kecuali dalam hal, sebagai berikut: a. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya; b. Gugatan tentang utang piutang _yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah; c. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-lain, di mana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beriktikad baik; d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap; e. Dikabulkannya gugatan provisional dengan pertimbangan hukum yang jelas dan tegas serta memenuhi ketentuan rumusan Pasal 332 Rv; f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan; g. Pokok sengketa mengenai bezitrecht. Yang menarik dari SEMA ini, disamping syarat-syarat untuk penjatuhan

putusan serta-merta diperluas dari ketentuan undangundang (lihat rumusan ketentuan Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg) juga diwajibkannya pemohon eksekusi untuk memberikan jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusinya. Hal ini dimaksudkan apabila ternyata di kemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama. SEMA ini juga menyatakan bahwa SEMA No. 16 Tahun 1969, SEMA No. 3 Tahun 1971, SEMA No. 3 Tahun 1978 serta SEMA yang terkait dinyatakan tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, menurut hemat penulis bahwa permasalahan ini seyogianya menjadi perhatian serius oleh para Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri untuk sungguh-sungguh mengindahkan halhal tersebut di atas dan sangat hati-hati menggunakan lembaga "uitvoerbaar bij voorraad" ex Pasal 180 (1) HIR dan Pasal 191 (1) RBg. Karena apabila di dalam tingkat banding atau kasasi keputusan Pengadilan Negeri dibatalkan akan timbul banyak kesulitan di dalam mengembalikan keadaan semula. 4. Dengan sendirinya hares dimengerti bahwa apabila terdapat suatu kekeliruan atau kekhilafan yang mencolok, Mahkamah Agung berdasarkan kekuasaan yang ada padanya untuk mengawasi jalannya peradilan yang baik dan begitu pula Pengadilan Tinggi berdasarkan pelimpahan wewenang tersebut selalu dapat memerintahkan penundaan pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri.

Bagian Kedua PENGERTIAN DAN ASPEK DWANGSOM A. PENGERTIAN DWANGSOM Pasal 611a Ayat 1 Burgerlijke Rechtsvordering (Belanda) berbunyi sebagai berikut: "De rechter kan op vordering van een der partijen de wederpartij veroordelen tot betaling van een geldsom, dwangsom genaamd, voor het geval dat aan de hoofdveroordeling niet wordt voldaan, onverminderd het recht op schadevergoeding indien daartoe gronden zijn. Een dwangsom kan echter niet worden opgelegd in geval van een veroordeling tot betaling van een geldsom, maksudnya adalah: "Atas tuntutan dari salah satu pihak, hakim dapat menghukum pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang, yang disebut uang paksa dalam hal hukuman pokok tidak dilaksanakan, dengan tidak mengurangi hak ganti rugi dalam hal itu berdasar. Suatu dwangsom tidak dapat dijatuhkan apabila hukuman itu untuk pembayaran sejumlah uang. Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud "uang paksa" adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada salah satu pihak berupa pembayaran sejumlah uang, apabila hukuman pokok tidak dilaksanakan. Marcel Stome guru besar pada Rijksuniversiteit Gent, Antwerpen Belgia menyatakan sebagai berikut: "De dwangsom is een bijkomende veroordeling van de schuldenaar om aan de schuldeiser een geldsom te betalen voor het geval dat

de schuldenaar niet aan de hoofdveroordeling voldoet, welke bijkomende veroordeling er toe strekt om op de schuldenaar drukuit te oefenen opdat hij de tegen hem uitgesproken hoofdveroordeling zal nakomen") yang kalau diartikan secara bebas adalah: "dwangsom (uang paksa) adalah suatu hukuman tambahan pada si berutang untuk membayar sejumlah uang kepada si berpiutang, di dalam hal si berutang tersebut tidak memenuhi hukuman pokok. Hukuman tambahan mana dimaksudkan untuk menekan si berutang agar supaya dia memenuhi putusan hukuman pokok." P. A. Stein memberikan pengertian tentang dwangsom sebagai berikut: uang paksa adalah sejumlah uang yang ditetapkan di dalam putusan, hukuman mana diserahkan kepada penggugat, di dalam hal, sepanjang atau sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hu r kuman. Dwangsom ditetapkan di dalam suatu jumlah uang, baik berupa sejumlah uang sekaligus, maupun setiap suatu jangka waktu atau setiap pelanggaran. B. SIFAT DWANGSOM Dari definisi/pengertian uang paksa tersebut di atas, maka tam - pak bahwa suatu dwangsom bersifat: - Accessoir dengan pengertian bahwa: tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok. Dwangsom selalu harus mengikuti hukuman pokok dengan kata lain bahwa dwangsom tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok. Kalau seorang penggugat dalam dalil (posita) gugatannya menyatakan bahwa tergugat telah lalai menyerahkan barang yang dibelinya padahal barang tersebut

telah dibayar lunas. Akan tetapi penggugat di dalam petitum gugatannya tidak meminta agar tergugat dihukum untuk menyerahkan barang yang dibelinya terse-but penggugat hanya menuntut dwangsom (uang paksa), maka hakim tidak dapat mengabulkan permintaan dwangsom tersebut walaupun dalil gugatan penggugat terbukti. Apabila hukuman pokok telah dilaksanakan oleh terhukum maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tadi tidak berkekuatan hukum lagi. Apabila penggugat yang menuntut penyerahan barang yang di belinya dan apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut, maka tergugat dihukum untuk membayar uang paksa dan hakim mengabulkan hukuman tersebut, maka apabila tergugat telah menyerahkan barang yang dituntut itu kepada penggugat, maka dwangsom tidak berkekuatan hukum lagi. Dengan kata lain bahwa dwangsom yang ditetapkan tidak berlaku lagi. - Hukuman tambahan. Ini berarti bahwa apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan suka rela, maka dwangsom diperlakukan (dapat dieksekusi). Apabila dwangsom telah dilaksanakan tidaklah berarti bahwa hukuman pokok telah hapus. Hukuman pokok masih tetap dapat dilaksanakan. Apabila hakim dalam putusannya memerintahkan kepada tergugat menyerahkan barang yang telah dibeli oleh penggugat disertai suatu dwangsom, maka apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut, maka tergugat diwajibkan pula untuk membayar uang paksa yang ditetapkan oleh hakim tersebut. Apabila uang paksa yang ditetapkan oleh

hakim telah dilaksanakan terhukum tetapi penyerahan barang yang diperintahkan oleh hakim tidak dilaksanakan oleh tergugat, maka penyerahan barang tersebut tetap wajib dilaksanakan oleh terhukum. Hukuman pokok tidak hapus dengan adanya pelaksanaan dwangsom. - Tekanan psychis bagi terhukum. Ini berarti bahwa dengan adanya hukuman dwangsom yang ditetapkan oleh hakim di dalam putusannya, maka si terhukum ditekan secara psychis agar is dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama dwangsom tersebut. Lembaga dwangsom adalah merupakan suatu alat eksekusi ini tidak diragukan, karena penempatannya di dalam Kitab Undang-Undang (Rechtsreglement Burgerlijke Rechtsvordering) dalam Buku II yang berjudul "Tentang Pelaksanaan Putusan dan Akta-akta Autentik," Pembuat undang-undang memandang dwangsom itu sebagai alat untuk memaksa agar putusan pengadilan dilaksanakan. Hal ini tergambar di dalam rumusan ketentuan Pasal 611a. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dwangsom adalah merupakan sisi lain dari eksekusi, yang seolaholah bekerja dari samping. Eksekusi rill atau verhaal eksekusi bekerja secara langsung untuk terlaksananya hukuman pokok, sedangkan, dwangsom bekerja dari samping yang merupakan alat penekan seperti halnya penyanderaan (gijzeling) bagi terhukum agar si terhukum melakukan (te doen) atau menyerahkan suatu Benda (yang bukan berupa suatu jumlah uang) tertentu. Secara khusus perlu pula diperhatikan, bahwa suatu putusan dapat juga berisi suatu keharusan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, yaitu berupa larangan untuk

melakukan sesuatu. Hal ini bertujuan agar di kemudian hari tidak terjadi serangan yang merupakan pelanggaran dari apa yang tidak boleh dilakukan oleh terhukum. Larangan seperti ini dapat diberikan apabila ancaman itu betul-betul serius. Dalam hal yang demikian hakim dapat menerapkan dwangsom yang bertujuan agar larangan itu betul-betul ditaati. Dengan sendirinya uang paksa itu Baru dapat ditagih apabila larangan itu secara nyata telah dilanggar. Eksekusi ditujukan kepada mereka yang menurut putusan hakim dihukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan dalam hal yang demikian dwangsom berfungsi untuk memaksa agar hukuman pokok dilaksanakan dengan sukarela. Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam eksekusi rill hanya mempunyai dua unsur, yaitu: 1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan 2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld). Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom; 2. Berlakunya dwangsom; dan 3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom. Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan

melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok, sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan C. JENIS DWANGSOM YANG DAPAT DIJATUHKAN Rumusan ketentuan Pasal 611b (Rv. Belanda) mengatur, bahwa: Hakim dapat menentukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal yang disebut dua terakhir, hakim dapat menetapkan suatu jumlah tertentu, dwangsom yang lebih dari jumlah itu tidak berkekuatan. Dari ketentuan ini, maka hakim dapat menentukan, bahwa: 1. Suatu jumlah sekaligus misalnya Rp 15.000.000,- apabila tidak melakukan perbuatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah aanmaning. 2. Suatu jumlah untuk setiap jangka waktu misalnya Rp 100.000, - setiap hari jika is tidak melaksanakan prestasi yang ditetapkan. 3. Suatu jumlah uang untuk setiap pelanggaran misalnya Rp 100.000,untuk setiap kali terhukum tidak mau menyerahkan anak yang akan dibawa oleh bapaknya ber-weekend. Di dalam hal sebagaimana tertera di dalam no. 2 dan no. 3 di atas hakim juga dapat menentukan suatu jumlah tertentu, yang merupakan batas maksimal. Misalnya: Terhukum dihukum dwangsom Rp 100.000,- setiap kali tidak melakukan prestasi atau Rp 100.000, - setiap kali terhukum melakukan pelanggaran

dengan ketentuan dwangsom itu setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- lebih dari itu dwangsom tidak perlu dibayar. Jadi kalau misalnya terhukum dihukum Rp 100.000,- setiap hari tidak melakukan prestasi dan hal itu dilakukannya selama 1 tahun, maka kalau tidak ada pembatasan dari hakim si terhukum harus membayar dwangsom 365 x Rp 100.000,- = Rp 36.500.000,-. tetapi di sini hakim dapat menetapkan jumlah maksimum Rp 10.000.000,-.

Bagian Ketiga KAPAN SUATU DWANGSOM DAPAT DIJATUHKAN A. Tidak Ada Dwangsom Tanpa Hukuman Pokok Mengacu pada pengertian dwangsom yang telah penulis kemukakan di atas, di mana antara lain dikatakan bahwa suatu dwangsom yang ditetapkan oleh hakim di dalam putusannya adalah hukuman yang bersifat accessoir, yaitu hukuman yang mengikut pada hukuman pokok. Tidak mungkin ada suatu dwangsom tanpa hukuman pokok, tetapi hukuman pokok mungkin ada tanpa dwangsom. Dengan kata lain, tidaklah mutlak atau tidaklah selalu suatu hukuman pokok itu harus disertai dengan dwangsom (sanksi tambahan). Sebagai contoh: Si A menggugat si B agar si B menyerahkan sebuah keris pusaka kepada si A. Apabila si B lalai menyerahkan keris tersebut, maka si B dihukum untuk membayar uang paksa Rp 1.000.000,- setiap hari. Di dalam kasus seperti ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya pada penghukuman dwangsom, tanpa menghukum si B untuk menyerahkan keris tersebut. Seperti juga halnya apabila penggugat mengajukan tuntutan agar supaya suatu penyitaan revindikasi dinyatakan sah dan berharga. Padahal tuntutan penyerahan kembali suatu Benda tidak ada. Jadi tanpa revindicatie suatu hal yang tidak mungkin dikabulkan.